Sabtu, 17 Oktober 2015

Etika Governance

ETIKA GOVERNANCE
Sebelum kita masuk kedalam pembahasan ethical governance, alangkah baiknya kita mengenal dulu apa itu etika. Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupa¬kan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Sedangkan dalam buku “Ilmu Pemerintahan” karangan Sri Untari (2006), dijelaskan secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang mempunyai arti watak, keharusan atau adat. Kemudian dijelaskan juga pendapat lain dari Magnis Susesno yang masih dijelaskan dalam buku karangan Sri Untari (2006), menerangkan bahwa etika merupakan pengkajian filsafat tentang bidang yang menyangkut kewajiban-kewajiban manusia serta tentang baik dan buruk. Etika sebagai ilmu yang mencari orientasi sangat dipengaruhi oleh lingkungan seperti adat istiadat, tradisi, lingkungan sosial, ideology, agama, Negara dan lain-lain.
Pemerintah dalam arti sempit dimaksudkan khusus kekuasaan eksekutif, sedangkan dalam arti luas kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam segala usaha mencapai tujuan Negara. Sedangkan ari segi etika, pemerintahan adalah perbuatan atau kegiatan yang erat kaitannya dengan manusia dan kemanusiaan. Karena itu perbuatan pemerintahan tidak terlepas dari kewajiban etika dan moral serta budaya baik antara pemerintah dengan rakyat, antara lembaga/pejabat pemerintahan dengan pihak ketiga. Perbuatan semacam ini biasanya disebut prinsip kepatutan dalam pemerintahan dengan pendekatan moral sebagai dasar berpikir dan bertindak. Prinsip kepatutan ini menjadi landasan etis bagi pejabat dan lembaga pemerintahan dalam melaksanakan tugas kepemerintahan. Oleh karena itu, etika pemerintahan adalah nilai-nilai etik pemerintahan yang menjadi landasan moral bagi penyelenggara pemerintahan, secara teoritis, terdapat hubungan antara filsafat dengan etika pemerintahan, dimana etika pemerintahan adalah bagian dari filsafat dan etika terbagi menjadi 2 bagian yaitu individual dan sosial.
Etika pemerintahan  mengamanatkan agar pejabat memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai atau pun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara. Etika ini dimaksud untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efesien dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per-orang ataupun kelompok orang, serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Etika pemerintahan selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara dalam selaku manusia sosial. Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan dalam etika kepemerintahan adalah:
1.      Penghormatan terhadap hidup manusia dan hak asasi manusia lainnya.
2.      Kejujuran (honesty) baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya.
3.      Keadilan (justice) dan kepantasan, merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain.
4.      Fortitude, yaitu kekuatan moral, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan dan nasib.
5.      Temperance, yaitu kesederhanaan dan pengendalian diri
6.      Nilai-nilai adama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar umat manusia harus bertindak secara profesional dan bekerja keras.
Etika pemerintah  lahir dari cabang sosial dimana didalamnya terdapat etika pers, etika politik, etika pemerintahan dll (Untari, 2010). Etika pemerintahan mempunyai sifat-sifat sosial, antara lain:
1.      Bersifat praktis karena membicarakan tentang perilaku dari aparat pemerintahan dan warga Negara yang menyangkut pelaksanaan atau praktik interaksi antara aparat Negara dengan yang diperintah.
2.      Selalu memerlukan bantuan dari ilmu pengetahuan lain seperti ilmu politik, hukum, dan lain-lain.

Fungsi etika pemerintahan:
Secara umum, fungsi etika pemerintahan dalam penyelenggaraan praktik pemerintahan dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      sebagai suatu pedoman, referensi, acuan, penuntun dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.
2.      sebagai acuan untuk menilai apakah keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintah itu baik atau buruk.
1. Governance System
Governance system adalah sistem yang dimiliki suatu negara dalam mengatur pemerintahannya.
Sesuai dengan kondisi negara masing-masing, sistem ini dibedakan menjadi :
  • Presidensial merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif.
  • Parlementer merupakan sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Berbeda dengan sistem presidensial, di mana sistem parlemen dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan.
  • Komunis adalah paham yang merupakan sebagai bentuk reaksi atas perkembangan masyarakat kapitalis yang merupakan cara berpikir masyarakat liberal.
  • Demokrasi liberal merupakan sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah liberal merupakan sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.

2. Mengembangkan Struktur Etika Korporasi
Etika korporasi atau dengan kata lain adalah etika bisnis dalam perusahaan sangat diperlukan. Pada saat itulah perlu prinsip-prinsip moral etika ke dalam kegiatan bisnis secara keseluruhan diterapkan, baik dalam entitas korporasi, menetapkan sasaran bisnis, membangun jaringan dengan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) maupun dalam proses pengembangan diri para pelaku bisnis sendiri. Penerapan ini diharapkan etika dapat menjadi “hati nurani” dalam proses bisnis sehingga diperoleh suatu kegiatan bisnis yang beretika dan mempunyai hati, tidak hanya sekadar mencari untung belaka, tetapi juga peduli terhadap lingkungan hidup, masyarakat, dan para pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Semangat untuk mewujudkan Good Corporate Governance memang telah dimulai di Indonesia, baik di kalangan akademisi maupun praktisi baik di sektor swasta maupun pemerintah. Berbagai perangkat pendukung terbentuknya suatu organisasi yang memiliki tata kelola yang baik sudah di stimulasi oleh Pemerintah melalui UU Perseroan, UU Perbankan, UU Pasar Modal, Standar Akuntansi, Komite Pemantau Persaingan Usaha, Komite Corporate Governance, dan sebagainya yang pada prinsipnya adalah membuat suatu aturan agar tujuan perusahaan dapat dicapai melalui suatu mekanisme tata kelola secara baik oleh jajaran dewan komisaris, dewan direksi dan tim manajemennya. Pembentukan beberapa perangkat struktural perusahaan seperti komisaris independen, komite audit, komite remunerasi, komite risiko, dan sekretaris perusahaan adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan efektivitas “Board Governance”. Dengan adanya kewajiban perusahaan untuk membentuk komite audit, maka dewan komisaris dapat secara maksimal melakukan pengendalian dan pengarahan kepada dewan direksi untuk bekerja sesuai dengan tujuan organisasi. Sebagai contoh adalah  perusahaan Astra Otoparts dalam pelaksanaan ruang lingkup kinerjanya menganut sistem nilai yang dijabarkan dari filosofi perusahaan dan prinsip-prinsip dasar Astra sebagai acuan untuk berhubungan dengan lingkungannya, baik lingkungan internal maupun eksternal. Etika tersebut dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Good Corporate Citizen
Pengertian :
Perusahaan, Direksi, jajaran Manajemen dan seluruh Karyawan (selanjutnya disebut ‘Perusahaan’) dan Komisaris dalam bersikap, menjalankan bisnis serta kewajibannya, memberikan manfaat dan dirasakan kontribusinya oleh masyarakat, bangsa dan Negara. 
2.      Good Corporate Governance
Pengertian :
Pengelolaan Perusahaan dan bisnis dilakukan secara jujur, terbuka dan bertanggung jawab dalam  mencapai tujuan Perusahaan yang mengacu pada dokumen Good Corporate Governance Code of Conduct.    
Dalam menerapkan Good Corporate Governance :     
•    Perusahaan melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance yaitu Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi dan Kewajaran untuk meningkatkan kinerja Perusahaan yang lebih baik dengan tujuan akhir meningkatkan nilai pemangku kepentingan (stakeholder value).     
•    Komisaris dan jajaran Manajemen memahami dan melaksanakannya sebagai contoh perilaku bagi Karyawan.  
•    Perusahaan menekankan pada pelaksanaan etika bisnis yang kuat dan konsisten untuk membentuk, memelihara dan membangun sikap perilaku manajemen dan Karyawanyangterpuji.     
•    Perusahaan melaksanakannya secara efektif untuk meningkatkan nilai bagi pemegang saham (shareholder value) serta melindungi hak-hak stakeholder lainnya.   
•    Komisaris, dan jajaran Manajemen menghindari timbulnya benturan kepentingan (Conflict of Interest) baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain seperti melakukan transaksi orang dalam (insider trading).
•    Komisaris dan Perusahaan tidak diperkenankan memberi atau menerima segala bentuk imbalan dari pihak yang bertransaksi atau berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung.     
•    Komisaris dan Perusahaan menjaga keamanan dan kerahasiaan serta membatasi akses dari pihak yang tidak berkepentingan atas data dan informasi Perusahaan.                                                                       
2. Etika Kerja 
Merupakan sistem nilai yang dianut secara perorangan yang termasuk etika hubungan antar Karyawan dan perusahaan. Etika kerja mengatur hubungan yang lebih bersifat ke dalam (perusahaan), yakni antara Karyawan dan perusahaan secara umum. Kumulasi Sikap, perilaku, cara berhubungan dan bagaimana proses kerja dilaksanakan, akan membangun “Budaya Kerja” yang merupakan salah  satu  elemen penting dalam Perusahaan.
Etika Kerja meliputi hal-hal berikut ini :
·         Sikap Karyawan dalam Perusahaan
·         Sikap Karyawan dengan wewenang dan jabatannya di Perusahaan 
·         Hubungan Karyawan dengan Atasan dan dengan Bawahannya
·         Hubungan Karyawan dengan Sesama Karyawan  

3.   Kode Perilaku Korporasi (Corporate Code of Conduct)
Untuk mencapai keberhasilan dalam jangka panjang, suatu perusahaan perlu dilandasi oleh integritas yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pedoman perilaku (code of conduct) yang dapat menjadi acuan bagi organ perusahaan dan semua karyawan dalam menerapkan nilai-nilai (values) dan etika bisnis sehingga menjadi bagian dari budaya perusahaan. Kode perilaku korporasi (Code of Conduct) adalah pedoman internal perusahaan yang berisikan sistem nilai, etika bisnis, etika kerja, komitmen, serta penegakan terhadap peraturan-peraturan perusahaan bagi individu dalam menjalankan bisnis, dan aktivitas lainnya serta berinteraksi dengan stakeholders. Kode perilaku korporasi yang dimiliki suatu perusahaan berbeda dengan perusahaan lainnya, karena setiap perusahaan memiliki kebijakan yang berbeda dalam menjalankan usahanya.
Prinsip dasar yang harus dimiliki oleh perusahaan adalah:
§  Setiap perusahaan harus memiliki nilai-nilai perusahaan (corporate values) yang menggambarkan sikap moral perusahaan dalam pelaksanaan usahanya.
§  Untuk dapat  merealisasikan sikap moral dalam  pelaksanaan  usahanya, perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati oleh organ perusahaan dan semua karyawan. Pelaksanaan etika bisnis yang berkesinambungan akan membentuk budaya perusahaan yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai perusahaan.
§  Nilai-nilai dan rumusan etika bisnis perusahaan perlu dituangkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman perilaku agar dapat dipahami dan diterapkan.

Manfaat  Code of Conduct antara lain :
§  Menciptakan suasana kerja yang sehat dan nyaman dalam lingkungan perusahaan.
§  Membentuk karakter individu perusahaan yang disiplin dan beretika dalam bergaul dengan sesama individu dalam perusahaan maupun dengan pihak lain di luar perusahaan.
§  Sebagai pedoman yang mengatur, mengawasi sekaligus mencegah penyalahgunaan wewenang dan jabatan setiap individu dalam perusahaan
§  Sebagai acuan terhadap penegakan kedisiplinan.
§  Menjadi acuan perilaku bagi individu dalam perusahaan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab masing-masing dan berinteraksi dengan stakeholder perusahaan.

4. Evaluasi terhadap Kode Perilaku Korporasi
Dalam setiap code of conduct, adanya evaluasi terhadap kode perilaku korporasi juga sangat diperlukan, agar segala kegiatan yang telah dilakukan apakah sudah dijalankan sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan. Evaluasi terhadap kode perilaku korporasi dapat dilakukan dengan melakukan evaluasi tahap awal (Diagnostic Assessment) dan penyusunan pedoman-pedoman. Pedoman Good Corporate Governance disusun dengan bimbingan dari Tim BPKP dan telah diresmikan pada tanggal 30 Mei 2005.
Dalam mengimplementasikan Good Corporate Governance, diperlukan instrumen-instrumen yang menunjang, yaitu sebagai berikut :
o   Code of Corporate Governance (Pedoman Tata Kelola Perusahaan), pedoman dalam interaksi antar organ Perusahaan maupun stakeholder lainnya.
o   Code of Conduct (Pedoman Perilaku Etis), pedoman dalam menciptakan hubungan kerjasama yang harmonis antara Perusahaan dengan Karyawannya.
o   Board Manual, Panduan bagi Komisaris dan Direksi yang mencakup Keanggotaan, Tugas, Kewajiban, Wewenang serta Hak, Rapat Dewan, Hubungan Kerja antara Komisaris dengan Direksi serta panduan Operasional Best Practice.
o   Sistim Manajemen Risiko, mencakup Prinsip-prinsip tentang Manajemen Risiko dan Implementasinya.
o   An Auditing Committee Contract – arranges the Organization and Management of the Auditing Committee along with  its Scope of Work.
o   Piagam Komite Audit, mengatur tentang Organisasi dan Tata Laksana Komite Audit serta Ruang Lingkup Tugas.
Berikut ini langkah yang harus dilakukan dalam evaluasi terhadap kode perilaku korporasi, yaitu :
o   Pelaporan Pelanggaran Code of Conduct
Setiap individu berkewajiban melaporkan setiap pelanggaran atas Code of Conduct yang dilakukan oleh individu lain dengan bukti yang cukup kepada Dewan Kehormatan. Laporan dari pihak luar wajib diterima sepanjang didukung bukti dan identitas yang jelas dari pelapor. Dewan kehormatan wajib mencatat setiap laporan pelanggaran atas Code of Conduct dan melaporkannya kepada Direksi dengan didukung oleh bukti yang cukup dan dapat dipertanggungjawabkan. Dewan kehormatan wajib memberikan perlindungan terhadap pelapor.
o   Sanksi Atas Pelanggaran Code of Conduct
Pemberian sanksi Atas Pelanggaran Code of Conduct yang dilakukan oleh karyawan diberikan oleh Direksi atau pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemberian sanksi Atas Pelanggaran Code of Conduct yang dilakukan oleh Direksi dan Dewan Komisaris mengacu sepenuhnya pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perusahaan serta ketentuan yang berlaku. Pemberian sanksi dilakukan setelah ditemukan bukti nyata terhadap terjadinya pelanggaran pedoman ini.
5. Kasus Etika Governance/ Etika Pemerintahan
Peraturan penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia sangatlah dinamis, mengikuti perkembangan waktu dan berubah menyesuaikan perkembangan tersebut. UU Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah terakhir bisa dilihat dengan diterbitkannya UU No 23/2014. Salah satu pertimbangan mengapa UU ini diterbitkan adalah untuk meningkatkan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah yang progresif ini tidak akan sampai pada maksudnya, jika para pelaksana pemerintahan ini tidak mengedepankan aspek etika.  Dalam konteks pemerintahan, implementasi etika dapat dilihat dari keterlibatan penyelenggara negara dalam keseharian masyarakat. Misalnya, perwujudan dari etika pejabat negara itu dapat dilihat dari kemauan pejabat negara itu menyediakan dan menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Namun faktanya, etika dalam penyelenggaraan pemerintahan baru sekadar norma yang didokumentasikan dalam peraturan. Etika, ternyata sulit diamalkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya, kita dengan mudah dapat menemukan contoh pelanggaran etika dari pejabat pemerintah seperti perilaku koruptif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Realita ini adalah bukti bahwa etika penyelenggaraan pemerintahan tidak lagi bernilai dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama di daerah. Bahkan, para pejabat daerah yang pernah  bersangkutan, namun telah melaksanakan masa hukuman yang diberikan atas dakwaan korupsi yang dilakukannya. Namun, hal ini tentunya member noda hitam pemberantasan korupsi di negeri ini dan juga penciptaan  tata pemerintahan yang baik (good governance) jika terus terjadi, karena sewajarnya aparat birokrasi harus memiliki nilai moral yang baik untuk menciptakan pemerintahan yang bersih.
Sampai saat ini, berdasarkan catatan Kemendagri di daerah ada 153 PNS yang statusnya mantan terpidana korupsi (Kompas, 6/11/12). Para PNS itu termasuk mereka yang menduduki atau dipromosikan dalam jabatan tertentu. Tentunya hal ini menjadikan sebuah persoalan dalam etika administrasi public, terutama terkait dengan moral para pejabat yang notabene sebagai teladan dalam birokrasi dan bagi aparatnya dalam hal ini PNS di daerah. Jika ini terus terjadi, bukan tidak mungkin mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi. Serangkaian kasus Pada Harian Kompas (9/11/12), Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan bahwa surat edaran menteri tersebut sebagai pengingat dan pembinaan kepada kepala-kepaladaerah bahwa pemecatan PNS yang korup telah diatur di dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian. Disitu juga ditegaskan bahwa Mendagri akan mencabut surat keputusan pengangkatan bekas terpidana korupsi yang menjadi pejabat struktural di pemerinta daerah.Koran Kompas (9/11/12), melansir hingga saat ini daerah yang tercatat memberikan jabatan kepada bekas terpidana korupsi di pemerintah daerah, antara lain KabupatenKarimun, Kota Tanjung Pinang, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga, Kabupaten Majene,Provinsi Maluku Utara, dan Kabupaten Buru.Di Lingga, empat bekas terpidana tersebut diberi jabatan antara lain, kepala DinasPekerjaan Umum dan Perhubungan Iskandar Ideris, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja TogiSimanjuntak, keduanya dipidana dalam kasus korupsi pembangunan Dermaga Rejai. KepalaDinas Pertanian dan Perkebunan Dedy ZN yang mana dia dipenjara 16 bulan karenamerugikan negara Rp. 1,3 miliar dalam kasus pencetakan sawah di Singkep Barat. Selain ituKepala Badan Arsip dan Perpustakaan Jabar Ali, dipenjara 20 bulan karena terlibat korupsi proyek gedung di dinas pendidikan, pemuda dan olahraga.Sedangkan di Pemerintah Kabupaten Natuna, Senagip menjadi Kepala DinasPerindustrian dan Perdagangan. Ia juga menjadi sekretaris KPU Natuna sekaligus tengahmemimpin proyek pembangunan pabrik tapioka. Tahun ini Natuna mengalokasi Rp. 15 miliar untuk proyek itu. ada juga Yusrizal yang menjadi Kepala Badan, dan keduanya pernahdivonis 30 bulan penjara karena korupsi dana bagi hasil migas tahun 2007.Lebih lanjut, di Karimun Yan Indra menjabat kepala dinas pemuda dan olahraga.Indra pernah divonis 1,5 tahun penjara karena terlibat korupsi pembebasan lahan untuk PT.Saipem Indonesia tahun 2007. Kasus itu merugikan negara Rp.1,2 miliar. Di tanjung Pinang,Raja Faisal Yusuf yang pernah divonis 2,5 tahun penjara karena merugikan negara Rp.1,2miliar masih menjadi kepala badan pelayanan perizinan terpadu. Yang paling menjadi perhatian publik mengenai korupsi di daerah adalah Bekas terpidana korupsi alih fungsi hutanlindung Bintan, Azirwan, yang diangkat menjadi Kepala Dinas Kelautan dan PerikananKepulauan Riau.Sudah barang tentu kemudian, kondisi yang terjadi tersebut akan memberikan nodahitam dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia. pada gilirannya juga, kemudian pemerintah daerah tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dimulai dari daerah.Seperti yang dikatakan Guru Besar Hukum Tata Negara Univ. Andalas Padang, Saldi Isra bahwa pemerintah daerah akan kehilangan legitimasi sosial. Masyarakat bisa membangkang 
 bahkan sangat mungkin semua program Pemda tidak mendapat dukungan sosial (Kompas,9/11/12).
Mengambil garis antara kasus tersebut diatas dengan pendekatan etika, kemudian akan menghadapkan pada posisi pelaksanaan aturan melalui Undang-undang yang mengatur hal tersebut dan konteks etika moral dimasyarakat menanggapi hal tersebut. Dalamkebudayaan yang mengutamakan nilai-nilai luhur, kejujuran, keadilan yang kemudiandiperhadapkan dengan korupsi, maka hal ini dianggap sebagai adanya pelanggaran etika.Secara aturan bisa jadi bahwa, pejabat bekas terpidana korupsi tidak melanggar.Keterbatasan SDM didaerah juga bisa menjadi alasan peneguhan hal ini, karena keterbutuhanterhadap tenaga profesional yang hanya memiliki pilihan dari pejabat bersangkutan.Walaupun kecenderungan politis juga terdapat dalam kebijakan ini, tapi untuk itu merupakanwewenang dari kepala daerah yang bersangkutan. Kaitannya kemudian dengan persoalanetika, secara teknis tidak ada namun bisa jadi persoalan ini berkaitan dengan nilai moral birokrasi.Disamping itu, persoalan tersebut diatas kemudian berhubungan denganpejabat publik yang merupakan teladan dalam pelayanan birokrasi, juga sebagai simbol bagaimanasebuah oraganisasi birokrasi dijalankan. Dengan menempatkan pejabat bekas korupsitentunya belum ada jaminan mengenai perbaikan dalam proses pelayanan birokrasi, karena jaminan adanya perbaikan moral individual setelah menjalani hukuman kasus korupsi punadalah ranah individu tersebut. Padahal ini menyangkut etika sosial kemasyarakatan mengenai pelayanan birokrasi.

Kesimpulan:
            Dalam penyelenggaran pemerintahan, untuk hal ini fungsi etika dalam pemerintahan tidak berjalan secara baik. Karena etika pemerintahan berfungsi untuk mencerminkan perilaku etis aparat pemerintahan. Namun, disini aparat pemerintahan telah melanggar etik-etik pemerintah yaitu dengan korupsi, selain itu pejabat penyelenggara yang lain juga membuka akses untuk pejabat yang bersalah tersebut menduduki jabatan lagi. Hal tersebut dapat menyebabakan turunnya kepercayaan masyarakat kepada sikap pemerintah. Sehingga krisis kepercayaan




Tidak ada komentar:

Posting Komentar