ETIKA GOVERNANCE
Sebelum
kita masuk kedalam pembahasan ethical governance, alangkah baiknya kita
mengenal dulu apa itu etika. Pengertian Etika
(Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak
kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan
perkataan moral yang merupa¬kan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan
dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup
seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari
hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya,
tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau
moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah
untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Sedangkan dalam buku
“Ilmu Pemerintahan” karangan Sri Untari (2006), dijelaskan secara etimologis
etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos
yang mempunyai arti watak, keharusan atau adat. Kemudian dijelaskan juga
pendapat lain dari Magnis Susesno yang masih dijelaskan dalam buku karangan Sri
Untari (2006), menerangkan bahwa etika merupakan pengkajian filsafat tentang
bidang yang menyangkut kewajiban-kewajiban manusia serta tentang baik dan
buruk. Etika sebagai ilmu yang mencari orientasi sangat dipengaruhi oleh
lingkungan seperti adat istiadat, tradisi, lingkungan sosial, ideology, agama,
Negara dan lain-lain.
Pemerintah
dalam arti sempit dimaksudkan khusus kekuasaan eksekutif, sedangkan dalam arti
luas kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam segala usaha mencapai
tujuan Negara. Sedangkan ari segi etika,
pemerintahan adalah perbuatan atau kegiatan yang erat kaitannya dengan manusia
dan kemanusiaan. Karena itu perbuatan pemerintahan tidak terlepas dari
kewajiban etika dan moral serta budaya baik antara pemerintah dengan rakyat,
antara lembaga/pejabat pemerintahan dengan pihak ketiga. Perbuatan semacam ini
biasanya disebut prinsip kepatutan dalam pemerintahan dengan pendekatan moral
sebagai dasar berpikir dan bertindak. Prinsip kepatutan ini menjadi landasan
etis bagi pejabat dan lembaga pemerintahan dalam melaksanakan tugas kepemerintahan.
Oleh karena itu, etika pemerintahan adalah nilai-nilai etik pemerintahan yang
menjadi landasan moral bagi penyelenggara pemerintahan, secara teoritis,
terdapat hubungan antara filsafat dengan etika pemerintahan, dimana etika
pemerintahan adalah bagian dari filsafat dan etika terbagi menjadi 2 bagian yaitu
individual dan sosial.
Etika pemerintahan mengamanatkan agar pejabat memiliki
rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai atau
pun dianggap tidak mampu memenuhi
amanah masyarakat, bangsa dan
negara. Etika ini dimaksud untuk mewujudkan pemerintahan
yang bersih, efesien dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang
demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggung jawab, tanggap akan
aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk
menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per-orang ataupun
kelompok orang, serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Etika
pemerintahan selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan
dengan hak-hak dasar warga negara dalam selaku manusia sosial. Nilai-nilai
keutamaan yang dikembangkan dalam etika kepemerintahan adalah:
1. Penghormatan
terhadap hidup manusia dan hak asasi manusia lainnya.
2. Kejujuran
(honesty) baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya.
3. Keadilan
(justice) dan kepantasan, merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan
terhadap orang lain.
4. Fortitude,
yaitu kekuatan moral, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan dan
nasib.
5. Temperance,
yaitu kesederhanaan dan pengendalian diri
6. Nilai-nilai
adama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar umat manusia harus bertindak
secara profesional dan bekerja keras.
Etika pemerintah lahir
dari cabang sosial dimana didalamnya terdapat etika pers, etika politik, etika
pemerintahan dll (Untari, 2010). Etika pemerintahan mempunyai sifat-sifat
sosial, antara lain:
1. Bersifat praktis karena membicarakan tentang perilaku dari
aparat pemerintahan dan warga Negara yang menyangkut pelaksanaan atau praktik
interaksi antara aparat Negara dengan yang diperintah.
2. Selalu memerlukan bantuan dari ilmu pengetahuan lain seperti
ilmu politik, hukum, dan lain-lain.
Fungsi
etika pemerintahan:
Secara
umum, fungsi etika pemerintahan dalam penyelenggaraan praktik pemerintahan
dibagi menjadi 2, yaitu:
1. sebagai suatu pedoman, referensi, acuan, penuntun dalam
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.
2. sebagai acuan untuk menilai apakah keputusan dan/atau
tindakan pejabat pemerintah itu baik atau buruk.
1. Governance System
Governance system adalah sistem yang dimiliki suatu
negara dalam mengatur pemerintahannya.
Sesuai dengan kondisi negara masing-masing, sistem ini
dibedakan menjadi :
- Presidensial merupakan sistem pemerintahan negara
republik di mana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah
dengan kekuasan legislatif.
- Parlementer merupakan sebuah sistem pemerintahan di
mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Berbeda dengan
sistem presidensial, di mana sistem parlemen dapat memiliki seorang
presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap jalannya
pemerintahan.
- Komunis adalah paham yang merupakan sebagai bentuk
reaksi atas perkembangan masyarakat kapitalis yang merupakan cara berpikir
masyarakat liberal.
- Demokrasi liberal merupakan sistem politik yang
melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan
pemerintah liberal merupakan sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan
tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan
persamaan hak adalah nilai politik yang utama.
2. Mengembangkan Struktur Etika
Korporasi
Etika korporasi atau dengan kata
lain adalah etika bisnis dalam perusahaan sangat diperlukan. Pada saat itulah
perlu prinsip-prinsip moral etika ke dalam kegiatan bisnis secara keseluruhan
diterapkan, baik dalam entitas korporasi, menetapkan sasaran bisnis, membangun
jaringan dengan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) maupun
dalam proses pengembangan diri para pelaku bisnis sendiri. Penerapan ini
diharapkan etika dapat menjadi “hati nurani” dalam proses bisnis sehingga
diperoleh suatu kegiatan bisnis yang beretika dan mempunyai hati, tidak hanya
sekadar mencari untung belaka, tetapi juga peduli terhadap lingkungan hidup,
masyarakat, dan para pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Semangat untuk mewujudkan Good
Corporate Governance memang telah dimulai di Indonesia, baik di kalangan
akademisi maupun praktisi baik di sektor swasta maupun pemerintah. Berbagai
perangkat pendukung terbentuknya suatu organisasi yang memiliki tata kelola
yang baik sudah di stimulasi oleh Pemerintah melalui UU Perseroan, UU
Perbankan, UU Pasar Modal, Standar Akuntansi, Komite Pemantau Persaingan Usaha,
Komite Corporate Governance, dan sebagainya yang pada prinsipnya adalah membuat
suatu aturan agar tujuan perusahaan dapat dicapai melalui suatu mekanisme tata
kelola secara baik oleh jajaran dewan komisaris, dewan direksi dan tim
manajemennya. Pembentukan beberapa perangkat struktural perusahaan seperti
komisaris independen, komite audit, komite remunerasi, komite risiko, dan
sekretaris perusahaan adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan efektivitas
“Board Governance”. Dengan adanya kewajiban perusahaan untuk membentuk komite
audit, maka dewan komisaris dapat secara maksimal melakukan pengendalian dan
pengarahan kepada dewan direksi untuk bekerja sesuai dengan tujuan organisasi.
Sebagai contoh adalah perusahaan Astra
Otoparts dalam pelaksanaan ruang lingkup kinerjanya menganut sistem nilai yang dijabarkan dari filosofi perusahaan dan
prinsip-prinsip dasar Astra sebagai acuan untuk berhubungan dengan
lingkungannya, baik lingkungan internal maupun eksternal. Etika tersebut dibagi
menjadi 2, yaitu:
1.
Good Corporate
Citizen
Pengertian :
Perusahaan, Direksi,
jajaran Manajemen dan seluruh Karyawan (selanjutnya disebut ‘Perusahaan’) dan
Komisaris dalam bersikap, menjalankan bisnis serta kewajibannya, memberikan
manfaat dan dirasakan kontribusinya oleh masyarakat, bangsa dan Negara.
2. Good Corporate Governance
Pengertian :
Pengelolaan Perusahaan dan bisnis dilakukan secara jujur,
terbuka dan bertanggung jawab dalam mencapai
tujuan Perusahaan yang mengacu pada dokumen Good Corporate Governance Code of
Conduct.
Dalam menerapkan Good Corporate Governance :
• Perusahaan melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance yaitu Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi dan Kewajaran untuk meningkatkan kinerja Perusahaan yang lebih baik dengan tujuan akhir meningkatkan nilai pemangku kepentingan (stakeholder value).
• Komisaris dan jajaran Manajemen memahami dan melaksanakannya sebagai contoh perilaku bagi Karyawan.
• Perusahaan menekankan pada pelaksanaan etika bisnis yang kuat dan konsisten untuk membentuk, memelihara dan membangun sikap perilaku manajemen dan Karyawanyangterpuji.
• Perusahaan melaksanakannya secara efektif untuk meningkatkan nilai bagi pemegang saham (shareholder value) serta melindungi hak-hak stakeholder lainnya.
• Komisaris, dan jajaran Manajemen menghindari timbulnya benturan kepentingan (Conflict of Interest) baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain seperti melakukan transaksi orang dalam (insider trading).
• Komisaris dan Perusahaan tidak diperkenankan memberi atau menerima segala bentuk imbalan dari pihak yang bertransaksi atau berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung.
• Komisaris dan Perusahaan menjaga keamanan dan kerahasiaan serta membatasi akses dari pihak yang tidak berkepentingan atas data dan informasi Perusahaan.
2. Etika Kerja
Merupakan sistem nilai yang dianut secara perorangan yang termasuk etika hubungan antar Karyawan dan perusahaan. Etika kerja mengatur hubungan yang lebih bersifat ke dalam (perusahaan), yakni antara Karyawan dan perusahaan secara umum. Kumulasi Sikap, perilaku, cara berhubungan dan bagaimana proses kerja dilaksanakan, akan membangun “Budaya Kerja” yang merupakan salah satu elemen penting dalam Perusahaan.
Etika Kerja meliputi hal-hal berikut ini :
Dalam menerapkan Good Corporate Governance :
• Perusahaan melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance yaitu Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi dan Kewajaran untuk meningkatkan kinerja Perusahaan yang lebih baik dengan tujuan akhir meningkatkan nilai pemangku kepentingan (stakeholder value).
• Komisaris dan jajaran Manajemen memahami dan melaksanakannya sebagai contoh perilaku bagi Karyawan.
• Perusahaan menekankan pada pelaksanaan etika bisnis yang kuat dan konsisten untuk membentuk, memelihara dan membangun sikap perilaku manajemen dan Karyawanyangterpuji.
• Perusahaan melaksanakannya secara efektif untuk meningkatkan nilai bagi pemegang saham (shareholder value) serta melindungi hak-hak stakeholder lainnya.
• Komisaris, dan jajaran Manajemen menghindari timbulnya benturan kepentingan (Conflict of Interest) baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain seperti melakukan transaksi orang dalam (insider trading).
• Komisaris dan Perusahaan tidak diperkenankan memberi atau menerima segala bentuk imbalan dari pihak yang bertransaksi atau berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung.
• Komisaris dan Perusahaan menjaga keamanan dan kerahasiaan serta membatasi akses dari pihak yang tidak berkepentingan atas data dan informasi Perusahaan.
2. Etika Kerja
Merupakan sistem nilai yang dianut secara perorangan yang termasuk etika hubungan antar Karyawan dan perusahaan. Etika kerja mengatur hubungan yang lebih bersifat ke dalam (perusahaan), yakni antara Karyawan dan perusahaan secara umum. Kumulasi Sikap, perilaku, cara berhubungan dan bagaimana proses kerja dilaksanakan, akan membangun “Budaya Kerja” yang merupakan salah satu elemen penting dalam Perusahaan.
Etika Kerja meliputi hal-hal berikut ini :
·
Sikap Karyawan dalam
Perusahaan
·
Sikap Karyawan dengan
wewenang dan jabatannya di Perusahaan
·
Hubungan Karyawan
dengan Atasan dan dengan Bawahannya
·
Hubungan Karyawan
dengan Sesama Karyawan
3.
Kode
Perilaku Korporasi (Corporate Code of Conduct)
Untuk mencapai keberhasilan dalam jangka panjang, suatu
perusahaan perlu dilandasi oleh integritas yang tinggi. Oleh karena
itu, diperlukan pedoman perilaku (code of conduct) yang dapat
menjadi acuan bagi organ perusahaan dan semua karyawan dalam menerapkan
nilai-nilai (values) dan etika bisnis sehingga menjadi bagian
dari budaya perusahaan. Kode perilaku korporasi (Code of Conduct)
adalah pedoman internal perusahaan yang berisikan sistem nilai, etika bisnis,
etika kerja, komitmen, serta penegakan terhadap peraturan-peraturan perusahaan
bagi individu dalam menjalankan bisnis, dan aktivitas lainnya serta
berinteraksi dengan stakeholders. Kode perilaku korporasi yang dimiliki suatu
perusahaan berbeda dengan perusahaan lainnya, karena setiap perusahaan memiliki
kebijakan yang berbeda dalam menjalankan usahanya.
Prinsip
dasar yang harus dimiliki oleh perusahaan adalah:
§ Setiap perusahaan harus memiliki
nilai-nilai perusahaan (corporate values) yang menggambarkan sikap
moral perusahaan dalam pelaksanaan usahanya.
§ Untuk dapat merealisasikan sikap moral dalam pelaksanaan usahanya, perusahaan harus memiliki rumusan
etika bisnis yang disepakati oleh organ perusahaan dan semua karyawan.
Pelaksanaan etika bisnis yang berkesinambungan akan membentuk budaya perusahaan
yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai perusahaan.
§ Nilai-nilai dan rumusan etika bisnis
perusahaan perlu dituangkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman perilaku
agar dapat dipahami dan diterapkan.
Manfaat Code of Conduct antara lain :
§ Menciptakan suasana kerja yang sehat
dan nyaman dalam lingkungan perusahaan.
§ Membentuk karakter individu
perusahaan yang disiplin dan beretika dalam bergaul dengan sesama individu
dalam perusahaan maupun dengan pihak lain di luar perusahaan.
§ Sebagai pedoman yang mengatur,
mengawasi sekaligus mencegah penyalahgunaan wewenang dan jabatan setiap
individu dalam perusahaan
§ Sebagai acuan terhadap penegakan
kedisiplinan.
§ Menjadi acuan perilaku bagi individu
dalam perusahaan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab masing-masing dan
berinteraksi dengan stakeholder perusahaan.
4.
Evaluasi terhadap Kode Perilaku Korporasi
Dalam setiap code of conduct, adanya
evaluasi terhadap kode perilaku korporasi juga sangat diperlukan, agar segala
kegiatan yang telah dilakukan apakah sudah dijalankan sesuai dengan prosedur yang
sudah ditetapkan. Evaluasi terhadap kode perilaku korporasi dapat dilakukan
dengan melakukan evaluasi tahap awal (Diagnostic Assessment) dan
penyusunan pedoman-pedoman. Pedoman Good Corporate Governance disusun
dengan bimbingan dari Tim BPKP dan telah diresmikan pada tanggal 30 Mei 2005.
Dalam mengimplementasikan Good Corporate Governance,
diperlukan instrumen-instrumen yang menunjang, yaitu sebagai berikut :
o
Code
of Corporate Governance (Pedoman Tata Kelola Perusahaan), pedoman dalam
interaksi antar organ Perusahaan maupun stakeholder lainnya.
o
Code
of Conduct (Pedoman Perilaku Etis), pedoman dalam menciptakan hubungan
kerjasama yang harmonis antara Perusahaan dengan Karyawannya.
o
Board
Manual, Panduan bagi Komisaris dan Direksi yang mencakup Keanggotaan, Tugas,
Kewajiban, Wewenang serta Hak, Rapat Dewan, Hubungan Kerja antara Komisaris
dengan Direksi serta panduan Operasional Best Practice.
o
Sistim
Manajemen Risiko, mencakup Prinsip-prinsip tentang Manajemen Risiko dan
Implementasinya.
o
An
Auditing Committee Contract – arranges the Organization and Management of the
Auditing Committee along with its Scope of Work.
o
Piagam
Komite Audit, mengatur tentang Organisasi dan Tata Laksana Komite Audit serta
Ruang Lingkup Tugas.
Berikut
ini langkah yang harus dilakukan dalam evaluasi terhadap kode perilaku
korporasi, yaitu :
o
Pelaporan
Pelanggaran Code of Conduct
Setiap individu berkewajiban
melaporkan setiap pelanggaran atas Code of Conduct yang dilakukan oleh individu
lain dengan bukti yang cukup kepada Dewan Kehormatan. Laporan dari pihak luar
wajib diterima sepanjang didukung bukti dan identitas yang jelas dari pelapor.
Dewan kehormatan wajib mencatat setiap laporan pelanggaran atas Code of Conduct
dan melaporkannya kepada Direksi dengan didukung oleh bukti yang cukup dan
dapat dipertanggungjawabkan. Dewan kehormatan wajib memberikan perlindungan
terhadap pelapor.
o
Sanksi
Atas Pelanggaran Code of Conduct
Pemberian sanksi Atas Pelanggaran
Code of Conduct yang dilakukan oleh karyawan diberikan oleh Direksi atau
pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemberian sanksi
Atas Pelanggaran Code of Conduct yang dilakukan oleh Direksi dan Dewan
Komisaris mengacu sepenuhnya pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Perusahaan serta ketentuan yang berlaku. Pemberian sanksi dilakukan setelah
ditemukan bukti nyata terhadap terjadinya pelanggaran pedoman ini.
5. Kasus Etika Governance/ Etika
Pemerintahan
Peraturan
penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia sangatlah dinamis, mengikuti
perkembangan waktu dan berubah menyesuaikan perkembangan tersebut. UU Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah terakhir bisa
dilihat dengan diterbitkannya UU No 23/2014. Salah satu pertimbangan mengapa UU
ini diterbitkan adalah untuk meningkatkan pelayanan, pemberdayaan dan peran
serta masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun,
dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah yang progresif ini tidak akan
sampai pada maksudnya, jika para pelaksana pemerintahan ini tidak mengedepankan
aspek etika. Dalam konteks pemerintahan, implementasi etika dapat dilihat
dari keterlibatan penyelenggara negara dalam keseharian masyarakat. Misalnya,
perwujudan dari etika pejabat negara itu dapat dilihat dari kemauan pejabat
negara itu menyediakan dan menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan
masyarakat. Namun faktanya, etika dalam penyelenggaraan pemerintahan baru
sekadar norma yang didokumentasikan dalam peraturan. Etika, ternyata sulit
diamalkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya, kita dengan mudah dapat
menemukan contoh pelanggaran etika dari pejabat pemerintah seperti perilaku
koruptif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Realita ini adalah bukti bahwa
etika penyelenggaraan pemerintahan tidak lagi bernilai dalam penyelenggaraan
pemerintahan, terutama di daerah. Bahkan, para pejabat daerah yang pernah bersangkutan, namun telah melaksanakan masa
hukuman yang diberikan atas dakwaan korupsi yang dilakukannya. Namun, hal ini
tentunya member noda hitam pemberantasan korupsi di negeri ini dan juga
penciptaan tata pemerintahan yang baik (good governance) jika terus terjadi,
karena sewajarnya aparat birokrasi harus memiliki nilai moral yang baik untuk
menciptakan pemerintahan yang bersih.
Sampai saat ini, berdasarkan catatan Kemendagri di daerah ada 153
PNS yang statusnya mantan terpidana korupsi (Kompas, 6/11/12). Para PNS itu
termasuk mereka yang menduduki atau dipromosikan dalam jabatan tertentu.
Tentunya hal ini menjadikan sebuah persoalan dalam etika administrasi public,
terutama terkait dengan moral para pejabat yang notabene sebagai teladan dalam
birokrasi dan bagi aparatnya dalam hal ini PNS di daerah. Jika ini terus terjadi,
bukan tidak mungkin mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap
birokrasi. Serangkaian kasus Pada Harian Kompas (9/11/12), Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
mengatakan bahwa surat edaran menteri tersebut sebagai pengingat dan
pembinaan kepada kepala-kepaladaerah bahwa pemecatan PNS yang korup telah
diatur di dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian. Disitu juga ditegaskan
bahwa Mendagri akan mencabut surat keputusan pengangkatan bekas terpidana
korupsi yang menjadi pejabat struktural di pemerinta daerah.Koran Kompas
(9/11/12), melansir hingga saat ini daerah yang tercatat memberikan jabatan kepada bekas terpidana korupsi di pemerintah daerah, antara lain KabupatenKarimun,
Kota Tanjung Pinang, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga, Kabupaten
Majene,Provinsi Maluku Utara, dan Kabupaten Buru.Di Lingga, empat bekas
terpidana tersebut diberi jabatan antara lain, kepala DinasPekerjaan Umum dan
Perhubungan Iskandar Ideris, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja TogiSimanjuntak,
keduanya dipidana dalam kasus korupsi pembangunan Dermaga Rejai. KepalaDinas
Pertanian dan Perkebunan Dedy ZN yang mana dia dipenjara 16 bulan
karenamerugikan negara Rp. 1,3 miliar dalam kasus pencetakan sawah di Singkep
Barat. Selain ituKepala Badan Arsip dan Perpustakaan Jabar Ali, dipenjara 20
bulan karena terlibat korupsi proyek gedung di dinas pendidikan, pemuda
dan olahraga.Sedangkan di Pemerintah Kabupaten Natuna, Senagip menjadi
Kepala DinasPerindustrian dan Perdagangan. Ia juga menjadi sekretaris KPU
Natuna sekaligus tengahmemimpin proyek pembangunan pabrik tapioka. Tahun ini
Natuna mengalokasi Rp. 15 miliar untuk proyek itu. ada juga Yusrizal yang
menjadi Kepala Badan, dan keduanya pernahdivonis 30 bulan penjara karena
korupsi dana bagi hasil migas tahun 2007.Lebih lanjut, di Karimun Yan
Indra menjabat kepala dinas pemuda dan olahraga.Indra pernah divonis 1,5 tahun
penjara karena terlibat korupsi pembebasan lahan untuk PT.Saipem Indonesia
tahun 2007. Kasus itu merugikan negara Rp.1,2 miliar. Di tanjung Pinang,Raja
Faisal Yusuf yang pernah divonis 2,5 tahun penjara karena merugikan negara
Rp.1,2miliar masih menjadi kepala badan pelayanan perizinan terpadu. Yang
paling menjadi perhatian publik mengenai korupsi di daerah adalah Bekas
terpidana korupsi alih fungsi hutanlindung Bintan, Azirwan, yang diangkat
menjadi Kepala Dinas Kelautan dan PerikananKepulauan Riau.Sudah barang tentu
kemudian, kondisi yang terjadi tersebut akan memberikan nodahitam dalam usaha
pemberantasan korupsi di Indonesia. pada gilirannya juga,
kemudian pemerintah daerah tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi
yang dimulai dari daerah.Seperti yang dikatakan Guru Besar Hukum Tata
Negara Univ. Andalas Padang, Saldi Isra bahwa pemerintah daerah akan kehilangan legitimasi sosial. Masyarakat bisa membangkang
bahkan sangat mungkin semua program Pemda tidak mendapat dukungan sosial (Kompas,9/11/12).
Mengambil garis antara kasus tersebut diatas
dengan pendekatan etika, kemudian akan menghadapkan pada posisi pelaksanaan
aturan melalui Undang-undang yang mengatur hal tersebut dan konteks etika
moral dimasyarakat menanggapi hal tersebut. Dalamkebudayaan yang mengutamakan
nilai-nilai luhur, kejujuran, keadilan yang kemudiandiperhadapkan dengan
korupsi, maka hal ini dianggap sebagai adanya pelanggaran etika.Secara aturan
bisa jadi bahwa, pejabat bekas terpidana korupsi tidak melanggar.Keterbatasan
SDM didaerah juga bisa menjadi alasan peneguhan hal ini, karena
keterbutuhanterhadap tenaga profesional yang hanya memiliki pilihan dari
pejabat bersangkutan.Walaupun kecenderungan politis juga terdapat dalam
kebijakan ini, tapi untuk itu merupakanwewenang dari kepala daerah yang
bersangkutan. Kaitannya kemudian dengan persoalanetika, secara teknis tidak ada
namun bisa jadi persoalan ini berkaitan dengan nilai moral birokrasi.Disamping
itu, persoalan tersebut diatas kemudian berhubungan denganpejabat publik yang merupakan teladan dalam pelayanan birokrasi, juga sebagai simbol bagaimanasebuah
oraganisasi birokrasi dijalankan. Dengan menempatkan pejabat bekas
korupsitentunya belum ada jaminan mengenai perbaikan dalam proses pelayanan
birokrasi, karena jaminan adanya perbaikan moral individual setelah menjalani hukuman kasus korupsi punadalah
ranah individu tersebut. Padahal ini menyangkut etika sosial kemasyarakatan mengenai
pelayanan birokrasi.
Kesimpulan:
Dalam
penyelenggaran pemerintahan, untuk hal ini fungsi etika dalam pemerintahan
tidak berjalan secara baik. Karena etika pemerintahan berfungsi untuk
mencerminkan perilaku etis aparat pemerintahan. Namun, disini aparat
pemerintahan telah melanggar etik-etik pemerintah yaitu dengan korupsi, selain
itu pejabat penyelenggara yang lain juga membuka akses untuk pejabat yang
bersalah tersebut menduduki jabatan lagi. Hal tersebut dapat menyebabakan
turunnya kepercayaan masyarakat kepada sikap pemerintah. Sehingga krisis
kepercayaan
https://www.academia.edu/4834642/Pejabat_Terpidana_Korupsi_kembali_Menjabat_Tinjauan_Etika_Birokrasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar