Budaya Malu
Budaya Malu dalam Budaya Jepang dan dalam Agama Islam
Malu
adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri
dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu
ketika mereka kalah dan pertempuran.
Masuk
ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena “mengundurkan diri” bagi
para pejabat (mentri, politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa
gagal menjalankan tugasnya. Efek negatifnya mungkin adalah anak-anak SD, SMP
yang kadang bunuh diri, karena nilainya jelek atau tidak naik kelas. Karena
malu jugalah, orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada
mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan.
Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun
norma yang sudah menjadi kesepakatan umum. http://forumbebas.com/printthread.php?tid=72689
Membangun Budaya Malu
Salah
satu ciri fitrah manusia adalah adanya rasa malu. Bila rasa malu hilang,
manusia cenderung berbuat seperti binatang bahkan bisa lebih parah lagi. Allah
berfirman: "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu bagai binatang, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka
itulah orang-orang yang lalai". (QS. 7:179).
Kini
kita sedang berada di sebuah zaman, yang menunjukkan bahwa manusia sudah
benar-benar lebih sesat dari binatang: Seorang anak membunuh ibunya, seorang
ayah memperkosa anak perempuannya, anak-anak diperjualbelikan, harga diri
dijual demi uang, perempuan rela telanjang di depan umum demi seni body
painting, suami istri melakukan perselingkuhan dengan bangganya, dsb.
Dalam
suatu hadits, Rasulullah mengatakan: "Rasa malu tidak pernah mendatangkan
kecuali kebaikan" (HR. Bukhari-Muslim). "Rasa malu semuanya baik''
(HR. Muslim). Bahkan Abu Sa'id Al Khudri pernah menggambarkan bahwa Rasulullah
saw. lebih pemalu dari seorang gadis. Bila melihat sesuatu yang tidak ia sukai,
tampak tanda rasa malu dari wajahnya (HR. Bukhari-Muslim). Dalam kesempatan lain,
Rasullah mengkaitkan antara iman dan rasa malu: "Rasa malu adalah bagian
dari iman, dan iman tempatnya di surga. Prilaku jelek adalah bagian dari
kekeringan iman, keringnya iman tempatnya di neraka"(HR. Ahmad).
Imam
Ibn Majah menyebutkan sebuah hadits yang menggambarkan betapa rasa malu harus
dibudayakan demi keselamatan sebuah bangsa. Rasulullah bersabda: "Jika
Allah swt. ingin menghancurkan sebuah kaum, dicabutlah dari mereka rasa malu.
Bila rasa malu telah hilang maka yang muncul adalah sikap keras hati. Bila
sikap keras hati membudaya, Allah mencabut dari mereka sikap amanah (kejujuran
dan tangung jawab). Bila sikap amanah telah hilang maka yang muncul adalah para
pengkhianat. Bila para mengkhianat merajalela Allah mencabut rahmatNya. Bila
rahmat Allah telah hilang maka yang muncul adalah manusia laknat. Bila manusia
laknat merajalela Allah akan mencabut dari mereka tali-tali Islam".
Menerangkan
makna hadits ini, Syeikh Muhammad Al Ghazali berkata dalam bukunya Khuluqul
Muslim: "Bila seorang tidak mampunyai rasa malu dan amanah, ia akan
menjadi keras dan berjalan mengikuti kehendak hawa nafsunya. Tak peduli apakah
yang harus menjadi korban adalah mereka yang tak berdosa. Ia rampas harta dari
tangan-tangan mereka yang fakir tanpa belas kasihan, hatinya tidak tersentuh
oleh kepedihan orang-orang lemah yang menderita. Matanya gelap, pandangannya
ganas. Ia tidak tahu kecuali apa yang memuaskan hawa nafsunya. Bila seorang
sampai ke tingkat prilaku seperti ini, maka telah terkelupas darinya fitrah
agama dan terkikis habis jiwa ajaran Islam" (Khuluqul Muslim, hal.171).
Imam An Nawi
menyebutkan bahwa hakikat rasa malu itu muncul dalam bentuk sikap meninggalkan
perbuatan jelek, dan perbuatan zhalim. Seorang sufi besar Imam Junaid
menerangkan bahwa rasa malu muncul dari melihat besarnya nikmat Allah,
sedangkan ia merasa banyak kekurangan dalam mengamalkan ketaatan kapada-Nya.
(Riyadhushsholihin, h.246).
Mudah-mudahan
kita masih memiliki dan mau membangun rasa malu untuk berbuat yang dzalim.
Salah satu cara yang paling sederhana adalah memakai pakaian muslimah atau
untuk pria memakai pakaian yang mencirikan muslim menurut kultur setempat, dan
aktif dalam kegiatan bernuansa Islam. Rasanya tidak mungkin seorang dengan
busana muslimah akan melacur. Tak mungkin seorang yang dengan baju koko
mengakhiri weekend-nya di diskotik. Ah, malu rasanya membicarakan aib orang
lain padahal kita sering tampil dalam kegiatan agama atau mengirimkan artikel
Islam seperti ini. Wallahu ‘alam.
Rasulullah
SAW bersabda, "Malu itu termasuk keimanan dan keimanan membawa ke surga.
Sedangkan perbuatan keji termasuk kejelekan dan kejelekan tempatnya di
neraka." (HR Tirmidzi).
Manusia
merupakan makhluk Allah SWT yang paling sempurna. Kesempurnaan itu tampak dari
dianugerahkannya akal, sehingga manusia mampu memilah antara yang hak dan
batil.
Malu
merupakan sifat yang mulia. Sifat yang telah diwariskan oleh para Nabi. Islam
menganjurkan umatnya agar menjadikan malu sebagai penghias hidupnya. Hiasan
yang membawa kebaikan bagi pemiliknya dan menjadi jalan menuju surga.
Imam
Ibnul Qoyyim berkata, "Antara dosa dan sedikitnya rasa malu ada
keterkaitan yang sangat erat, maka setiap dari keduanya akan menuntut yang
lain. Barang siapa malu kepada Allah ketika berbuat maksiat, Allah pun akan
malu menyiksanya pada hari kiamat kelak. Dan barang siapa tidak punya rasa malu
kepada Allah ketika berbuat maksiat, maka Allah tidak akan malu menyiksanya
kelak." (Ad−Da'u Wad Dawa', hal 111).
Hilangnya
rasa malu menyebabkan hilangnya seluruh kebaikan manusia. Sifat malu juga
merupakan perangai yang mengantarkan seseorang untuk istiqamah berbuat baik dan
terpuji, sehingga rela meninggalkan perbuatan jelek dan maksiat.
Sudah
saatnya malu menjadi budaya yang harus selalu dijaga dan dipelihara, baik oleh
individu, kelompok, terlebih bangsa ini. Kita sadari betapa tidak berhentinya
petaka, bencana, yang melanda bangsa ini mungkin salah satunya diakibatkan oleh
hilangnya rasa malu.
Pejabat
merasa malu jika menyelewengkan kekuasaan terkait profesinya. Jabatannya
merupakan amanah yang harus diemban. Dia menjadi pejabat bukan karena
kehebatannya, melainkan kepercayaan konstituen kepadanya. Seorang wanita merasa
malu mempertontonkan 'perhiasannya' pada orang yang tidak memiliki hak atasnya.
Dia berpikir bahwa 'perhiasan' itu merupakan karunia Allah SWT yang harus
dijaga.
Seorang
pengusaha merasa malu jika terlambat memberi upah pada karyawannya. Kesuksesan
usahanya adalah berkat kerja keras para karyawannya. Tak ada artinya dia tanpa
bantuan karyawan.
Penguasa
merasa malu jika tidak memberikan pelayanan terbaiknya kepada rakyat. Kekuasaan
yang dimilikinya sangat terbatas oleh ruang dan waktu. Namun, kekuasaan Allah
SWT bersifat kekal. Ketakutannya kepada Allah SWT mendorongnya untuk berbuat
adil dan bijaksana.
Hasan
Al Bashri berkata, "Empat perkara yang barang siapa ada padanya akan
sempurna, dan barangsiapa yang mempunyai satu saja, maka ia termasuk orang
saleh pada kaumnya; agama sebagai petunjuknya, akal yang meluruskannya, mawas
diri yang menjaganya, malu yang menggiringnya." (Al−Adab asy−Syar'iyah,
2/219). (Hikmah/Republika)
Mantan
Perdana Menteri Malaysia, Mahadthir Mohamad, mengatakan perasaan malu
selayaknya disemai sejak awal, agar kita bisa maju dan terus memperbaiki
kualitas hasil kerja. "Contohlah orang Jepang," ujarnya saat memberi
orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancaila di Jakarta hari ini.
Menurutnya,
berkat budaya malu itulah Jepang bisa bangkit dari keterpurukannya setelah
Perang Dunia II. Rasa malu hanyalah satu contoh nilai hidup yang dapat
memajukan suatu bangsa. Mahathir menyebutkan nilai lain, yaitu kesepahaman akan
pentingnya ilmu pengetahuan, tanpa mempermasalahkan dari mana asalnya.
Masyarakat
Islam, katanya, mengalami masa keemasan saat mereka belajar bahasa Yunani dan
India, agar bisa menterjemahkan dan memahami buku-buku ilmu pengetahuan. Bangsa
Eropa pun tercerahkan saat mereka mulai belajar dari literatur Islam.
"Kejayaan Islam lenyap saat muncul fatwa pelarangan pengajaran ilmu-ilmu
yang dianggap tidak Islami," sesal Mahathir.
http://www.pkpu.or.id/artikel.php?id=3&no=18
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/05/10/brk,20080510-122830,id.html
Seri Belajar
dari Jepang: I. Budaya Malu dan Service-oriented Society
Tidak ada komentar:
Posting Komentar